Selasa, 18 Maret 2008

pesantren, tasawuf dan hedonisme kultural

Executive Summary
PESANTREN, TASAWUF DAN HEDONISME KULTURAL
(STUDI KASUS DI PONDOK MODERN DARUSSALAM GONTOR)
Oleh : Basuki As'adie, M.Ag, dkk

Diajukan kepada Panitia Pelaksana
Annual Conference Program Pascasarjana IAIN/UIN
se-Indonesia
di IAIN Alaudin Makasar,
Tanggal 25-27 Nopember 2005


PENDAHULUAN
Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari. Kemudian Kyai agung itu mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di pondok ini, dan mereka berasal hampir dari seluruh tanah Jawa. Setelah Kyai Hasan Beshari wafat, beliau digantikan putra ketujuh beliau bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan Yahya digantikan oleh Kyai Bagus Hasan Bashari II yang kemudian digantikan oleh Kyai Hasan Anom. Pada masa kepemimpinan Kyai Khalifah, terdapat seorang santri yang bernama Sulaiman Jamaluddin, putra penghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kesepuhan Cirebon. Setelah memperoleh ilmu, santri Sulaiman Jamaluddin diambil manantu oleh Kyai. Dan sang Kyai memberikan kepercayaan kepadanya untuk mendirikan pesantren sendiri di Desa Gontor. Di desa inilah, Kyai muda Sulaiman Jamaluddin diberi amanat oleh mertuanya untuk merintis pondok pesantren seperti Tegalsari dengan bekal 40 santri yang dibekalkan oleh Kyai Khalifah kepadanya. Pondok ini didatangi santri dari berbagai daerah di Jawa. Setelah Kyai Archam wafat, Pondok dilanjutkan oleh putera beliau bernama Kyai Santoso Anom Besari. Pada masa kepemimpinan genarasi ketiga ini Gontor tidak banyak didatangi santri dan kegiatan pendidikan dan pengajaran di pesantren mulai memudar. Setelah Kyai Santoso wafaf, Pondok Gontor benar-benar tidak ada santrinya. Saudara-saudara Kyai Santoso tidak ada lagi yang sanggup menggantikannya untuk mempertahankan keberadaan pondok. Yang tinggal hanyalah Ibu Nyai Santoso beserta tujuh putera dan puterinya dengan peninggalan sebuah rumah sederhana dan masjid tua warisan nenek moyangnya. Kemudian Ibu nyai Santoso mengirimkan tiga orang antara putera puterinya ke beberapa pesantren dan lembaga pendidikan lain untuk memperdalam agama. Ketiga putera itu adalah Ahmad Sahal (anak kelima), Zainuddin Fannani (anak keenam), dan Imam Zarkasy (anak bungsu).
Tepat pada hari Senin Kliwon, 20 September 1926 M bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awwal 1345 H, ketiga putra Ibu nyai Santoso mendeklarasikan Pondok Gontor Baru, dengan membuka Tarbiyatul Athfal (TA), suatu program pendidikan tingkat dasar. Dengan dibukanya TA, pada pecinta ilmu dari berbagai daerah mulai berduyun-duyun untuk mengikutinya. Kemudian setelah enam tahun TA berdiri, pada tahun 1932 para kyai (pimpinan) pondok Modern Gontor membuka program lanjutan TA dan diberi nama “Sullamul Muta’allimin” (SM), dengan muatan materi yang mendalam dan luas (pelajaran fiqih, hadits, tafsir, terjemahan Al-Qur’an, cara berpidato, cara membahas suatu persoalan, serta pelajaran ketrampilan, kesenian, olahraga, gerakan kepanduan dan lain-lain. Kemudian Pada tahun 1936, ketiga kyai pendiri pondok Modern Gontor tersebut, membuka program baru pendidikan tingkat menengah pertama dan menengah atas dengan nama KMI (Kulliyatu al-Muallimin al-Islamiyah) atau Sekolah Guru Islam, KMI (Kulliyatu al-Muallimin al-Islamiyah) dengan model sistem klasikal dan berasrama dengan mempertahankan suasana dan jiwa kehidupan pesantren. Dalam peringatan 10 tahun ini (1936) pula tercetus nama baru untuk Pondok Gontor yang baru dihidupkan kembali ini, yakni “Pondok Modern Gontor”. Nama ini merupakan sebutan masyarakat yang kemudian melekat pada Pondok Gontor yang nama aslinya adalah “Darussalam”, artinya “Kampung Damai”. Proses pendidikan KMI Pondok Modern Gontor ini, berlangsung selama 24 jam, sehingga segala yang dilihat, didengar dan diperhatikan santri di Pondok ini adalah untuk pendidikan. Untuk itu diperlukan nilai-nilai yang harus dijadikan jiwa atau ruh oleh seluruh kehidupan di Pondok modern Gontor. Kemudian ketiga kyai pendiri pondok modern gontor merumuskan tentang nilai-nilai yang harus dijadikan jiwa atau ruh oleh seluruh kehidupan di Pondok modern Gontor. Nilai-nilai tersebut dirumuskan dengan istilah PANCA JIWA PONDOK, yakni : (1) Jiwa Keikhlasan, (2) Jiwa Kesederhanaan, (3) Jiwa Berdikari, (4) Jiwa Ukhuwah Diniyyah, (5) Jiwa Bebas. Nilai-nilai tersebut dijadikan sebagai ruh atau jiwa bagi kehidupan di Pondok Modern Gontor, sebagai lembaga pendidikan Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.
Zamakhsyari Dhofier mengutip pendapat Soebardi dalam The Place of Islam menyatakan bahwa: (a) lembaga-lembaga pesantren adalah lembaga yang paling menentukan watak keislaman dari kerajaan-kerajaan Islam dan yang memegang peranan paling penting bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok-pelosok; (b) dari lembaga-lembaga pesantren itulah asal-usul sejumlah manuskrip tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara, (c) dan untuk dapat betul-betul memahami sejarah islamisasi di wilayah ini, kita harus mulai mempelajari lembaga-lembaga pesantren tersebut, karena lembaga-lembaga inilah yang menjadi anak panah penyebaran Islam di wilayah ini.
Lembaga pendidikan pesantren dewasa ini dapat digolongkan menjadi tiga bentuk. Pertama, Pesantren yang cara pendidikan dan pengajarannya menggunakan metode sorogan atau bendungan, yaitu seorang kyai mengajarkan santri-santri berdasarkan kitab-kitab klasik yang ditulis dalam bahasa Arab, oleh ulama’ abad pertengahan dengan sistem terjemahan. Hal itu biasanya para santri tinggal di dalam pondok, asrama pondok dan ada pula yang di luar pondok. Umumnya Pondok Pesantren semacam ini “stiril” dari ilmu pengetahuan umum. Orang biasanya menyebutnya dengan nama pesantren salaf. Kedua, Pesantren disamping mempertahankan sistem pendidikan dan pengajaran sebagaimana tersebut diatas, juga memasukkan pendidikan umum seperti SD, SLTP, SMU, STM, SMEA, atau memasukkan sistem madrasah seperti MI, MTs, MA, ke pesantren. Ketiga, pesantren di dalam sistem pendidikan dan pengajarannya mengintegrasikan sistem madrasah ke dalam pesantren dengan segala jiwa, nilai dan atribut-atribut lainnya, dan pengajarannya memakai sistem klasikal ditambah dengan disiplin yang ketat dengan full asrama atau santri diwajibkan berdiam di asrama. Para pengamat menamakannnya dengan Pondok Modern. Dalam katagori ini para pengamat mencontohkannya dengan Pondok Modern Darussalam Gontor dengan pondok-pondok alumninya atau pondok-pondok lain yang sejalan dengan sistem pendidikan dan pengajaran di Gontor.
Pesantren dengan berbagai bentuknya sebagai diuraikan diatas mempunyai tujuan, baik tujuan umum maupun tujuan khusus. Tujuan khusus pendidikan pesantren yang dimaksud adalah mempersiapkan para santri untuk menjadi orang yang ‘alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat. Sedangkan tujuan umum pesantren adalah membimbing anak didik menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi muballig Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya. Disamping itu, secara umum setiap pesantren niscaya mendambakan dan ikut serta berupaya melahirkan generasi penerus (out put) yang selain memiliki keunggulan bersaing (competitive advantage) untuk menjadi subyek dalam percaturan di dunia kerja juga memiliki kepribadian yang utuh (integrated personality) sehingga dapat memakmurkan dan memuliakan kehidupan material dan spiritual diri, keluarga dan masyarakatnya berdasarkan nilai-nilai Islam.
Keberadaan pesantren baik salaf atau modern pada saat sekarang ini dihadapkan pada tantangan arus globalisasi, yang telah melanda di berbagai belahan dunia yang merupakan akibat dari pesatnya perkembangan teknologi komunikasi, informasi dan transformasi yang menjadikan bumi ini semacam desa global (global village), sehingga tak heran kalau antar negara-bangsa bisa saling memberi pengaruh. Dan kita sekarang telah memasuki abad ke-21, sebagaimana disebut banyak orang, abad ke-21 adalah millinimum baru yang kita belum tahu persis bagaimana sosoknya, akan dibawa kemana umat manusia. Dan sekarang ini dunia telah berada dalam kesepakatan bahwa abad ke-21 akan diselimuti oleh alam perdagangan bebas dan globalisasi, dimana kompetisi antara individu, antara negara dan antar usaha akan semakin tajam. Demikian pula keterbukaan demokrasi, masalah Hak-Hak Asasi Manusia (HAM), Hak atas Keyakinan Intelektual (HaKI) dan masalah lingkungan hidup akan menjadi agenda pokok di abad ke-21. Dunia secara global pada abad 21 ini, telah memihak pada kepentingan pasar. Sebagaimana sudah kiata ketahui mulai tahun 2003 kemarin, kita sudah memasuki era perdagangan bebas ASEAN, yang secara formal diratifikasi dalam AFTA pada tahun 2010. Dan tahun 2020 memasuki era perdagangan bebas dalam konteks kerjasama Asia dan fasifik (APEC). Maka millinium ketiga, kita berada dalam arus besar kehidupan yang berparadigma kapitalisme. Begitu juga dalam dunia pendidikan yang merupakan subsistem dari struktur sosial, juga tidak terlepas dari pengaruh arus besar kosmos kapitalisme serta kondisi masyarakat yang sudah menjadi rimba hedonisme.
Meskipun globalisasi menciptakan kecenderungan untuk peningkatan kerjasama internasional dan regional, ternyata kepentingan kepentingan nasional setiap bangsa masih tetap kuat juga. Dalam era persaingan ini setiap negara berusaha mewujudkan kemakmuran ekonomi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang menyebabkan perubahan ekonomi masyarakat, makin cerdas, profesional dan trampil mengolah alam dan lingkungan hidup bagi kebutuhan hidupnya. Namun tanpa disadari telah muncul pula penurunan kualitas kepribadian manusia. Memang globalisasi telah membawa kemakmuran ekonomi dan kemajuan iptek, akan tetapi globalisasi juga membawa dampak krisis spiritual dan kepribadian manusia, sehingga lebih memunculkan kesenjangan dan kekarasan sosial, ketidak-adilan dan tidak adanya demokrasi. Maka tidak heran kalau Ideologi kebebasan pasar dalam berbagai ranah publik, telah mengalienasi pendidikan sebagai wahana untuk memanusiakan manusia (humanisasi) menjadi alat kekuasaan kapitalisme. Akibatnya, pendidikan mengalami kemunduran moral dan dekadensi, termasuk di dalamnya adalah pergeseran orientasi dan visi.
Pada situasi dan kondisi pendidikan yang mengalami kemunduran moral dan dekadensi sebagaimana dimaksud diatas, pesantren sebagai institusi pendidikan Islam mempunyai peranan penting untuk mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari. Sebab jika ingin survive dan berjaya di tengah perkembangan dunia yang kian kompetitif di masa kini dan abad ke-21, pondok pesantren dituntut eksis dan mampu menghadapi dampak arus globalisasi tersebut dengan tetap berpijak pada ideologi bahwa proses pendidikan di pondok pesantren tetap sebagai wahana untuk memanusiakan manusia (liutammima makarima al-akhlaq) dan lingkungannya, memikul beban dan tanggung-jawab yang cukup berat, ke hadhirat Allah SWT sebagai khalifatullah untuk melaksanakan humanisasi pendidikan yang ber-paradigma dan ber-ideologi ‘keadilan sosial’, dan bukan pendidikan yang ber-paradigma dan ber-ideologi kapitalisme”.
Untuk bisa survive dan berjaya di tengah perkembangan dunia yang kian kompetitif di masa kini dan abad ke-21, pondok pesantren telah memiliki esensi dasar yang tidak bisa lepas dari karakteristik pesantren, yaitu lembaga pendidikan yang selalu dan senantiasa menekankan pentingnya moral akhlaqul karimah sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari. Untuk itu pendidikan pesantren selalu dan senantiasa bertujuan menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhimad kepada masyarakat dengan menjadi abdi masyarakat yang senantiasa menyebarkan dan menegakkan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat. Idealnya adalah pengembangan kepribadian muhsin, bukan sekedar muslim. Dan ini adalah esensi agama Islam, sebagaimana dinyatakan oleh Abu al-wafa’ al-Ghunaini al-Taftazani bahwa ketentuan hukum Islam berlandaskan moral islami. Karenanya hukum Islam tanpa moral ibarat badan tanpa nyawa atau wadah tanpa isi . Moral yang dimaksud dinsini adalah tasawuf, sebab para ulama sepakat bahwa tasawuf adalah moralitas yang berdasarkan Islam (adab). Karena itu seorang sufi adalah mereka yang bermoral, sebab semakin ia bermoral semakin bersih dan bening (shufa) jiwanya. Dengan demikian tasawuf adalah inti Islam. Disinilah titik temu antara tasawuf dan pesantren. Sebab esensi tasawuf adalah pada pengejawan ihsan, sementara itu esensi pesantren terletak pada pembinaan kepribadian muhsin, maka sudah sewajarnya jika tasawuf telah menjadi tiang penyangga berdirnya pondok pesantren atau tasawuf sebagai subkultur pondok pesantren.
Berangkat dari uraian diatas, judul penelitian ini adalah PESANTREN, TASAWUF DAN HEDONISME KULTURAL (Studi Kasus pada Pondok Modern Darussalam Gontor).

Fokus dan Tujuan Penelitian

Berangkat dari fenomena diatas, fokus penelitian ini adalah bagaimanakah aktualisasi nilai-nilai tasawuf dalam hidup dan kehidupan di Pondok Modern Darussalam Gontor. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan memaknai aktualisasi nilai-nilai tasawuf dalam hidup dan kehidupan pada Pondok Modern Darussalam Gontor.

Manfaat Penelitian

Manfaat Teoritis dari penelitian ini adalah Diketahuinya esensi nilai-nilai Islam yang dapat dijadikan sebagai benteng pesantren khususnya dan masyarakat pada umumnya, dalam menghadapi gemerlapanya materi duniawi pada era pendidikan global abad ke-21 yang berideologi kapitalisme sekuler dan kondisi masyarakat yang sudah menjadi rimba hedonisme (pengultusan kesenangan duniawi) yang bercorak kultural. Dengan ini maka akan diketahui juga paradigma ideology pendidikan Islam.
Sedangkan Manfaat Praktisnya adalah Perkembangan masyarakat sering menimbulkan perubahan dalam pola hubungan ekonomi, sosial dan budaya dari umat manusia itu sendiri. Tak jarang peubahan itu menimbulkan keguncangan sosial jika tidak disiapkan dengan sebaik-baiknya. Salah satu persiapan yang dapat dilakukan adalah membenahi jalur pendidikan dan membuatnya relevan, sedemikian rupa, sehingga mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan sanggup membaca tanda-tanda zaman.
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam di negeri ini pun diharapkan sanggup menjawab kebutuhan masyarakat dan dapat menangkap isyarat zaman. Namun, masalah yang dihadapi lembaga pendidikan untuk sampai kesana tidak semudah membalik telapak tangan. Dalam kaitan itu, berbagai masalah yang berkaitan dengan pendidikan Islam, seperti tujuan pendidikan, kurikulum, guru, metode, pendekatan, dan sarana pendidikan perlu segera dibenahi. Dewasa ini dunia pendidikan Islam, dihadapkan pada tuntutan masyarakat yang menghendaki agar dunia pendidikan Islam dapat menghasilkan para lulusannya yang berkualitas tinggi. Lulusan pendidikan yang mereka kehendaki adalah lulusan yang selain menguasai ilmu pengetahuan, keahlian dan ketrampilan yang dibutuhkan penghidupan yang layak dan sejahtera, juga memiliki bekal pengetahuan agama, moral dan akhlak yang mulia. Keseimbangan antara penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan penanaman keimanan dan ketaqwaan (IMTAQ) yang tampak tampaknya tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sebab masyarakat sekarang sudah mulai sadar bahwa dengan pengusaan IPTEK akan dapat mengatasi berbagai masalah kehidupan secara efisien dan efektif, sementara dengan bekal ilmu agama, moral dan akhlak yang mulia ia tidak akan tersesat dalam kehidupan pada hal-hal yang destruktif. Maka dalam hal ini, Untuk dapat mencapai tuntutan tersebut, didalam melaksanakan proses pendidikan, setiap lembaga pendidikan Islam dituntut harus memiliki tiga kekuatan secara seimbang, agar mampu melaksanakan amanat sebagai tersebut diatas dan tetap eksis secara fungsional di tengah-tengah arus kehidupan yang semakin kompetitif. Tiga kekuatan tersebut adalah: (1) kekuatan dalam bidang sumber daya manusia (SDM) mulai dari tenaga pendidik (guru) yang unggul, pengelolaan yang profesional dan tenaga peneliti dan pengembangannya yang andal, yaitu yang ber-IMTAQ dan ber-IPTEK; (2) kekuatan dalam bidang manajeman dan kinerja yang didukung oleh peralatan teknologi canggih sehingga dapat mendukung efisiensi dan akselerasi, dan (3) kekuatan dalam bidang dana yang bersumber dari kekuatan lembaga itu sendiri, yang akan mampu menghadapi hedonisme kultural. Jika ketiga kekuatan tersebut dapat dimiliki oleh lembaga pendidikan Islam, maka masa depan dunia pendidikan Islam akan berada di tangan umat Islam dan akhirnya lembaga pendidikan Islam menjadi pilihan utama masyarakat bahkan menjadi idolanya. Maka dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi kepada lembaga pendidikan Islam khususnya pesantren, agar memperhatikan tiga kekuatan tersebut.

Metodologi Penelitian

Untuk mendeskripsikan fokus penelitian tersebut diatas, digunakan metodologi penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang-orang dan perilaku yang dapat dialami yang menggunakan latar alami (natural setting) sebagai sumber data langsung dan peneliti sendiri merupakan instrumen kunci. Sedangkan instrumen lain sebagai instrumen penunjang. Maka data yang dikumpulkan atau disajikan dalam bentuk kata-kata dan gambar-gambar. Laporan penelitian memuat kutipan-kutipan data sebagai ilustrasi dan dukungan fakta pada penyajian. Data tersebut mencakup transkip wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi serta rekaman dan dokumen lainnya. Dan dalam memahami fenomena, peneliti berusaha melakukan analisis sekaya mungkin mendekati bentuk data yang telah direkam. Dalam penelitian ini analisis dilaksanakan dua kali, yaitu analisis data selama pengumpulan data dan setelah pengumpulan data. dengan menggunakan analisis domain dan analisis taksonomi serta analisis komponensial.





KERANGKA TEORITIK

Tasawuf

Tasawuf merupakan salah satu aspek perwujudan dari ihsa>n, yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan Tuhan-Nya. Untuk berada dekat dengan Tuhan, dalam tasawuf seorang sufi harus menempuh jalan panjang yang berisi station-station yang disebut maqa>ma>t.
Dalam buku-buku tasawuf, tidak selamanya memberikan susunan yang sama tentang maqa>ma>t. Menurut Abu bakar Muhammad al-Kalabadi, maqamat meliputi: al-taubah, al-zuhd, al-sabr, al-faqr , al-tawa>dhu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridhla, al-hub, al-ma’rifah. Abu Nasr al-Sarraj al-Thusi menyebutkan: al-tabah, al-wara’, al-zuhd, al-faqr, , al-sabr, al-tawakkal, al-ridha. Sedangkan Abu Hamid al-Ghaza>li menyebutkan: al-tabah, al-sabr, al-fakr, al-zuhd, al-tawakkal, al-hub, al-ma’rifah, al-ridha.
Disamping istilah maqam ini, terdapat pula dalam literatur tasawuf istilah “ha>l”. “Ha>l” merupakan keadaan mental, seperti: takut, rendah hati, patuh, ikhlas, rasa berteman, gembira, syukur.
Dalam dunia tasawuf, seorang yang ingin bertemu dengan-Nya, harus melakukan perjalanan (suluk) dan menghilangkan sesuatu yang menghalangi antara dirinya dengan Tuhan-Nya, yaitu dunia materi. Dalam tasawuf sikap ini disebut zuhud (keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian).
Zuhud merupakan maqa>m terpenting dalam tasawuf. Secara eksplisit kata zuhud dalam Al-Qur’an hanya disebut sekali, yaitu dalam Q.S Yusuf 20, namun sikap zuhud banyak disebut dalam berbagai ayat al-Qur’an. Secara keseluruhan ayat-ayat yang berkaitan dengan sikap manusia terhadap dunia diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, Ayat-ayat yang menganggap negatif terhadap dunia dan menganjurkan agar manusia mengisolasikan diri daripadanya. Model ayat seperti ini menyoroti sikap manusia pada umumnya dan orang-orang kafir pada khususnya yang hanya mencari kesenangan di dunia ini saja, dan mengharapkan kekekalan hidup di dalamnya. Kedua, Ayat-ayat yang menyatakan bahwa dunia diciptakan oleh Allah SWT, bukan hanya sekedar sambil lalu (la’ibun), tetapi mempunyai makna, hikmah dan tujuan yang jelas dan positif (haq). Karena itu seorang mukmin tidak dilarang menikmatinya secara wajar dan proporsional, sepanjang tidak mengalahkan akhirat dan melupakan Allah SAW.
Model klasifikasi ayat pertama mengedepankan makna zuhud, bahwa seorang zahid harus isolatif, eksklusif atau reaktif dalam mensikapi dunia nyata, sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh beberapa tokoh sufi masa lalu. Sedangkan model klasifikasi ayat kedua bahwa seorang zahid harus mampu bersikap integratif, inklusif dan mendunia, sehingga penerapan sikap zuhudnya betul-betul fungsional dan mampu menjawab problem keduniaan yang dirasakan semakin rumit. Maka apabila seseorang menggunakan landasan model ayat kedua, maka setiap orang Islam dilarang mengisolasikan diri dari kehidupan ini dan eksklusif. Sebaliknya mereka wajib bekerja keras, mencari bekal hidup di dunia dan hasilnya diperuntukkan bagi kebaikan. Dunia ini tempat berkiprah dengan amal sholeh, yang hasilnya akan dipetik kelak di akhirat. Kiprah mereka di dunia ini sejalan dengan fungsi kekhalifahannya yang mempunyai tugas untuk memakmurkan, menegakkan kebenaran dan keadilan, motivator dan dinamisator pembangunan, sebagaimana tersirat dalam firman Allah SWT Q.S al-Qashah ayat 77 tentang keseimbangan antara hidup di dunia dan akhirat.
Sikap manusia terhadap dunia sebagaimana pada model ayat klasifikasi kedua merupakan yang ampuh bagi manusia dalam menghadapi kehidupan, khususnya di abad modern yang sarat dengan problema, baik psikis, ekonomis dan etis. Zuhud dapat dijadikan sebagai benteng membangun diri dalam menghadapi gemerlapnya materi atau pengultusan duniawi (hedonisme).

Tasawuf Akhlaqi

Tasawuf Akhlaqi adalah ajaran Tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat, guna mencapai kebahagiaan yang optimal, manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui penyucian jiwa raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna dan berakhlak mulia yang dalam ilmu tasawuf dikenal dengan takhalli (pengosongan diri dari sifat-sifat tercela), tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji), dan tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan). Takhalli, berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kotoran dan penyakit hati yang merusak. Langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengetahui dan menyadari, betapa buruknya sifat-sifat tercela dan kotor tersebut, sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya. Apabila hal ini bisa dilakukan dengan sukses, maka seorang akan memperoleh kebahagiaan. Tahalli, berarti menghiasi diri dengan jalan membiasakan dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap gerak dan perilakukunya selalu berjalan diatas ketentuan agama. langkahnya ialah membina pribadi, agar memiliki akhlak al-karimah dan senantiasa konsisten dengan langkah-langkah yang dirintis sebelumnya (dalam ber-takhalli). Melakukan latihan kejiwaan yang tanggunh untuk membiasakan berperilaku baik, yang pada gilirannya akan menghasilkan manusia yang sempurna. Tajalli, yakni apabila seseorang hatinya terbebaskan dari tabir (hijab), yaitu sifat-sifat kemanusiaan atau memperoleh nur yang selama ini tersembunyi (ghaib) atau fana’ segala selain Allah ketika nampak (tajalli) wajah-Nya. Tajalli dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu (1) Tajalli al-Af’al, yakni tajalli-Nya pada perbuatan seseorang, artinya segala aktifitas itu disertai kudrat dan iradat-Nya, dan ketika itu dia melihat-Nya. Hal ini bisa berarti bahwa gerak dan diam itu adalah atsar (bekas) dari kodrat dan iradat-Nya; (2) Tajalli al-Asma’, yakni lenyapnya seseorang dari dirinya dan bebasnya dari genggaman sifat-sifat kebaharuan, dan lepasnya dari ikatan tubuh kasarnya. Pada lingkungan ini tiada yang dilihat kecuali dzat al-Shirfah (hakekat gerak), bukan melihat asma’; (3) Tajalli Sifat, yakni seseorang hamba menerima sifat-sifat ketuhanan, artinya Tuhan mengambil tempat padanya tanpa hulu dzat-Nya; (4) Tajalli Dzat, yakni apabila Allah menghendaki adanya tajalli atas hamba-Nya yang mengfana’kan dirinya, maka bertempatlah Dia padanya, yang berupa sifat dan bisa berupa dzat. Apabila berupa dzat, maka disitulah terjadi “ketunggalan” yang sempurna. Dengan fana’nya seseorang hamba , maka yang baqa’ hanyalah Dia. Dalam pada itu, hamba telah berada dalam situasi ma suwailah, yakni dalam wujud Allah semata.

Tasawuf Amali

Tasawuf Amali adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Dalam pengertian ini tasawuf amali berkonotasi tarekat. Tarekat dibedakan antara kemampuan sufi yang satu daripada yang lain. Ada orang yang dianggap mampu dan tahu cara mendekatkan diri kepada Allah, dan orang yang memerlukan bantuan orang lain yang dianggap memiliki otoritas dalam masalah itu. Dalam perkembangan selanjutnya, para pencari dan pengikut semakin banyak dan terbentuklah semacam komunitas sosial yang sefaham dan dari sini muncullah strata-strata berdasarkan pengetahuan serta amalan yang mereka lakukan. Dari sini maka muncullah istilah murid, mursyid, wali dan sebagainya.
Oleh karena itu dalam tarekat ada tiga unsur, yakni guru (Mussyid), murid dan ajaran. Guru adalah orang yang mempunyai otoritas dan legalitas kesufian yang berhak mengawasi muridnya dalam tingkah laku dan geraknya sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu dia mempunyai keistimewaan khusus, seperti jiwa yang bersih.

Taswuf Falsafi

Tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi intuitif dan visi rasional. Terminologi filosofis yang digunakan berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Walaupun demikian tasawuf filosofis tidak bisa dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), dan tidak pula bisa dikatagorikan pada tasawuf (yang murni) karena sering diungkapkan dengan bahasa filsafat.
Dalam upaya mengungkapkan pengalaman rohaninya, para sufi falsafi sering menggunakan ungkapan-ungkapan yang samar-samar, yang dikenal dengan syathahat, yaitu suatu ungkapan yang sulit difahami, yang sering kali mengakibatkan kesalahfahaman pihak luar, dan menimbulkan tragedi. Tokoh-tokohnya adalah Abu Yazid al-Bushthami, al-Hallaj, dan sebaginya.

PENELITIAN TERDAHULU

Tasawuf dan Pesantren

Kaitan antara pesantren dan tasawuf tidaklah terlalu sulit mencarinya. Hal ini dikarenakan secara sosiologis memiliki persamaan-persamaan, misalnya keduanya sama-sama dapat dilihat sebagai subkultur masyarakat Indonesia, dan Jawa khususnya. Sedangkan tasawuf merupakan satu subkultur dalam Islam. Dikatakan bahwa pesantren adalah subkultur dalam masyarakat Indonesia karena itu sudah menjadi bagian budaya bangsa Indonesia. Ini mengingat bahwa usia pesantren di Indonesia sudah sangat tua, sekitar 300-400 tahun. Dalam kurun yang panjang itu, telah terdapat proses saling mempengaruhi yang dalam sekali, sehingga terjadi saling ketergantungan dan saling memperkaya antara pesantren dan budaya setempat. Tradisi pesantren masuk dan menjadi bidaya lokal, dan sebaliknya banyak aspek budaya lokal yang juga telah masuk dan menjadi budaya pesantren. Di kalangan penganut kebatinan, kata-kata seperti kyai, sembahyang, atau bahkan pesantren (berasal dari sansekerta) itu sendiri sudah tidak lagi menjadi persoalan. Mereka memperkaya satu terhadap yang lainnya. Sementara itu, tak ada pesantren yang, terutama pada masa-masa pengislaman Indonesia sekitar abad 13-17, terlepas dari pengaruh tasawuf. Karena itu, dalam tataran tertentu, pesantren, tasawuf, Indonesia, adalah tiga kata yang saling bertaut.
Menurut catatan Mastuhu memang telah ada orang-orang yang telah masuk Islam, bahkan pada abad ke-5 M. Hal ini dibuktikan dengan penemuan-penemuan batu nisan yang bertuliskan nama-nama Islam seperti Fatimah binti Maimun di Leran Gresik dan meninggal tahun 474 atau 1082 M, Malikus Saleh di Sumantra abad 13 M, Tuhar Amisuri di Barus, Pantai Barat pulau Sumatra tahun 602. Meskipun demikian, hal ini bukan berarti telah tercipta suatu komunitas muslim. Dengan kata lain, kedatangan mereka tidak secara otomatis menjadikan orang-orang pribumi memeluk agama Islam. Sebaliknya mereka masih beragama Hindu-Budha. Komunitas muslim baru terbentuk sekitar abad 13-17, yakni periode ketika tasawuf memiliki pengaruh yang dominan di dunia Islam. Pada sekitar abad inilah, Islam baru dapat meletakkan akarnya terhadap orang-orang Indonesia dan para pemimpinnya. Dalam ungkapan lain, kesuksesan pengislaman di Indonesia adalah berkat kerja tasawuf atau para sufi. Pada abad ini, terutama abad 12-13 kaum muslimin di dunia sedang mengalami kemundiran baik dalam bidang politik, militer, maupun intelektual pada masa ini, gerakan-gerakan tasawuf berusaha tampil untuk menjaga semangat dan jiwa keagamaan di kalangan kaum muslimin. Kaum sufilah yang membawa Islam keluar dari Timur Tengah ke Asia Tenggara termasuk Indonesia dan pedalaman Afrika.
S.Q. Fatimi juga telah mengungkapkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para da’i atau misionaris (mistik) Islam atau sufi melalui wilayah Bengal. Para sufi ini dalam pengembaraannya mengambil peran sebagai juru tabligh untuk menyebarkan agama Islam pada daerah-daerah yang mereka lalui. Oleh karena itu dapat dipahami jika Islam di Indonesia pada masa-masa itu sangat bercorak sufistik dan mistik . Karena sifatnya yang mistis ini, telah memudahkan penerimaan bangsa Indonesia terhadap agama Islam. Ini dikarenakan sifat mistis itulah yang telah ada di kawasan ini sejak zaman pra-Hindu. Dengan demikian telah terjadi akulturasi yang sangat mulus antara tasawuf dengan budaya setempat. Baru setelah itu, tugas-tugas pengislaman lebih lanjut dilakukan oleh ulama-ulama fiqih dan ahli kalam.
Sementara itu Nurcholis Madjid (1988) melaporkan bahwa gerakan-gerakan tasawuf pada masa itu demikian kuatnya sehingga mampu mempengaruhi dan membentuk struktur masyarakat tasawuf setempat. Hal ini semakin memudahkan dan mematangkan gerakan penyebaran Islam. salah satu struktur penyebaran Islam yang berwatak tasawuf, atau lebih khususnya tarekat aspek pratikal dari rasawuf, adalah dibangun dan ditemukannya pemondokan atau zawiyah. Misalnya di India, dimana disitu ditemukan adanya pengikut atau pengamal tarekat, disitu pula ditemukan zawiyah yang dipakai oleh orang-orang yang melakukan wirid atau suluk yang biasanya terdiri atas orang-orang miskin. Zawiyah-zawiyah ini, menurut penuturan Madjid (1988), dalam perkembangannya berubah menjadi gilda-gilda dan pusat-pusat kegiatan ekonomi, khususnya sebagai pusat pendidikan. Gilda-gilda inilah yang merupakan cikal-bakal tempat tumbuhnya pusat-pusat kekuatan politik yang besar pengaruhnya dibelakang hari.
Menurut tengara Madjid pesantren atau pondok pesantren di Indonesia sebagaimana dikenal sekarang adalah merupaka kelanjutan dari bentuk zawiyah-zawiyah seperti yang ditemukan diTimur Tengah dan India. Hanya saja dalam rentang perjalanan sejarahnya, menunjukkan perkembangan yang dalam beberapa aspek tertentu dari ide semula. Misalnya, jika zawiyah dulu dimaksudkan untuk menampung orang-orang miskin yang ingin melakukan suluk atau wirid, tidak semua pesantren dibangun untuk dan dikembangkan atas kepentingan ini, atau tarekat. Bahkan pada perkembangan sekarang ini, pesantren mengarah pada kegiatannya ddalam bidang dan pengajaran saja. Akan tetapi dalam kesejarahannya kita tidak dapat menolak kenyataan bahwa pesantren adalah tulang punggung perkembangan Islam di Indonesia, khusunya pada era pembentukannya (formative period). Dalam periode ini Islam sangat berwatak sufistik. Karena itu, pesantren tetap tidak dapat dilepaskan begitu saja dari kaitannya dengan tasawuf. Selain itu banyak pengasuh pesantren, khususnya founding fathers, terutama pada era formative , yang mendapat dan memiliki kualitas wali, seprti Ampel dan Giri. Ini menandakan betapa dekatnya hubungan antara pesantren dengan tasawuf atau sufi. Sebagaimana diketahui bahwa kepercayaan terhadap wali adalah merupakan rangkaian ajaran dalam tasawuf.
Mengutip Subardi dan A. John, Zamakhsyari Dhofier tentang persan pesantren dalam pengislaman dan perkembangan di Indonesia, mengatakan bahwa lembaga-lembaga pesantren itulah yang paling menentukan watak ke Islaman dari kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan yang paling penting dalam penyebaran Isdlam sampai kepelosok-pelosok. Dari lembaga pesantren itulah asal-usul sejumlah manuskrip tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara yang tersedia secara terbatas, yang dikumpulkan oleh pengembara-pengemabara pertama dari perusahaan-perusahaan dagang Belanda dan Inggris sejak akhir abad 16. untuk dapat betul-betul memahami sejarah Islamisasi di wilayah ini, kita harus memulai mempelajari lembaga-lembaga pesantren tersebut karena lembaga-lembaga inilah yang menjadi anak panah penyebaran Islam diwilayah ini.
Dari deskripsi di atas juga didapat gambaran yang jelas tentang posisi pesantren dalam proses pengislaman di Indonesia. Pesantren dengan strategi tasawufnya menjadi ujung tombak dalam penyiaran agama Islam.

Tasawuf sebagai Sub-Kultur Pesantren

Sebagaimana telah dikatahui bahwa, ada golongan umat Islam yang belum merasa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadah shalat, puasa dan haji. Sebenarnya golongan tersebut ingin merasa lebih dekat lagi dengan Tuhan. Dalam hal ini, jalan yang harus ditempuh untuk menuju pendekatan diri dimaksud diberikan oleh tasawuf, karena tujuan dari orang-orang tasawuf adalah berada sedekat mungkin dengan Tuhan untuk memperoleh ma’rifat dan keridhaan-Nya, bahkan ada sebagian yang ingin mencapai persatuan dengan-Nya.
Pada waktu itu umat Islam mengalami kemunduran, baik dalam bidang politik, militer, ekonomi dan kegiatan intelektual pada abad 12 M, maka gerakan-gerakan orang tasawuflah yang dapat memilihara jiwa keagamaan di kalangan umat Islam. mereka menjadi perantara bagi tersebarnya agama Islam keluar dari daerah Timur Tengah, termasuk Asia Tenggara. Para pedagang, pengembara dan pengamal tasawuf merupaka juru tabligh utama penyebaran Islam, terutama di Indonesia. Dalam hal ini Martin van Bruinessen menegaskan bahwa Islamisasi di Indonesia berawal ketika tasawuf merupakan corak pemikiran yang dominan di dunia Islam. Pikiran-pikiran para sufi terkemuka, seperti Ibnu Arabi dan Al-Ghazali sangat berpengaruh terhadap pengarang-pengarang Muslim generasi pertama di Indonesia, yang hampir semuanya menjadi pengikut suatu tarekat. Pusat-pusat ajaran Islam yang pertama kali, khususnya di Jawa seperti di daerah Ampel dan Giri agaknya merupakan sambungan system zawiyah di Timur Tengah, yang kemudian berkembang menjadi pondok pesantren.
Meskipun pondok pesantren merupakan perkembangan dari sistem zawiyah yang dikembangkan kaum sufi, bukan berarti setiap pesantren merupakan pusat gerakan tasawuf. Bahkan, pesantren yang melakukan peran sebagai pusat gerakan tarekat hanyalah sedikit. Pada umumnya pondok pesantren berfungsi sebagai lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam, terutama dalam memelihara dan mengembangkan faham Islam tradisional, yaitu Islam yang masih terikat kuat dengan pikiran-pikiran para ulama’ ahli fiqih, hadis, tafsir, tauhid.
Sebenarnya bidang tasawuf paling menarik dalam struktur kehidupan beragama, tetapi sedikit sekali pesantren-pesantren yang secara sungguh-sungguh menggarapnya. Padahal tasawuf ini merupakan bidang yang sangat potensial untuk memupuk rasa keagamaan para santri, dan menuntun mereka memiliki budi pekerti mulia. Mengingat tasawuf merupakan tulang punggung pesantren atau tiang penyangga pesantren dalam rangka membina akhlak mulia, maka dapat dinyatakan bahwa pesantren merupakan lembaga pemelihara dan pengembang esensi tasawuf, sebagai subkulturnya.
Esensi Tasawuf pada hakekatnya adalah tashfiyah al-qalb ‘an al-shifat al- madzmumah, yang berarti membersihkan hati dari sifat-sifat yang tercela. Oleh karena itu yang menjadi sasaran tasawuf adalah hati, atau jiwa, atau rohani, atau batin yang menjadi sumber segala sikap dan tingkah laku manusia untuk menuju kebersihan hati agar memperoleh keridhaan Tuhan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah suatu ajaran dalam Islam yang mengajarkan bagaimana seharusnya seseorang bersikap mental dalam hubungannya dengn Tuhan, dengan sesama manusia dengan alam lingkungannya yang didasarkan petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Tasawuf disini meliputi dua macam bentuk, yaitu tasawuf ‘ammah (yang umum) dan tasawuf yang khashhah (yang khusus). Yang pertama berupa semua bentuk kegiatan dalam usaha peningkatan moral dan akhlak, yaitu meliputi segala perbuatan baik yang dilakukan dengan istiqamah, seperti: shalat, wirid, infak, sedekah, menolong orang lain, amar ma’ruf nahi mungkar, bahkan juga kegiatan mencari nafkah dengan didasari niat yang benar. Yang kedua berupa semua kegiatan tata wirid yang dipraktekkan secara istiqamah, yang diterima dari guru-guru tertentu yang berkesinambungan secara muttasil sampai kepada Rasulullah SAW.
H.M. Amin Syukur, dalam suatu hasil penelitiannya, menyebutkan bahwa tasawuf adalah kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung antara seseorang Muslim dengan Tuhan. Tasawuf juga merupakan suatu system latihan dengan penuh kesungguhan untuk membersihkan, mempertinggi dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga dengan itu, maka segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya.
Dengan perkataan lain dapat dinyatakan bahwa esensi tasawuf terletak pada pengejawantahan dari ajaran tentang ihsan, salah satu dari tiga serangkai ajaran Islam, yaitu, islam sendiri, iman dan ihsan. Esoterisme sufi adalah perwujudan dari sabda Nabi sendiri bahwa ihsan adalah keadaan dimana ketika kita menyembah Allah seolah-olah kita melihat-Nya, dan kalaupun kita tidak melihatNya, maka Dia yang melihat kita. Apa yang diajarkan tasawuf tidak lain adalah bagaimana menyembah Allah dengan suatu kesadaran penuh bahwa kita berada di dekat-Nya sehingga kita “melihat” Nya atau bahwa Dia senantiasa mengawasi kita dan kita senantiasa berdiri dihadapan-Nya.
Sementara itu mengenai esensi tasawuf menurut Prof. Dr. Simuh, pada dasarnya terdapat dua pandangan yang berbeda, yaitu pertama, memandang esensi tasawuf pada ajaran zuhud, yaitu ajaran untuk bertekun dalam beribadah serta membelakangi kemewahan dan perhiasan duniawi. Kedua, memandang esensi tasawuf pada upaya untuk memperoleh penghayatan fana’ dan ma’rifat secara langsung terhadap dzat Tuhan, yakni mencapai penghayatan face to face atau bahkan bersatu dengan Tuhan di dalam suasana extasy (fana dan ma’rifat).
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa esensi tasawuf terletak pada pengejawantahan al-Ihsan, zuhud dan penghayatan fana dan ma’rifat. Dalam hal ini kaum sufi banyak memiliki perumpamaan mengenai kebulatan agama Islam yang tidak dapat terpishkan, yaitu terdiri dari syari’at, thariqat dan hakekat. Ibarat buah kacang, syari’at adalah kulitnya, thariqat adalah bijinya, dan haqiqah adalah minyaknya yang sekalipun tidak tampak tetapi terdapat di mana-mana. Kacang tanpa ketiga unsurnya itu tidak dapat tumbuh jika ditanam di ladang. Begitu juga tasawuf tidak akan memberi kegunaan rohani jika tidak mencakup ketiga bagiannya yang integral tersebut.
Dalam hal ini Imam Malik menyatakan bahwa, pertama, siapa yang mengamalkan fiqih tanpa bertasawuf maka dia adalah fasiq (tidak bermoral), kedua, siapa yang bertasawuf tanpa mengamalkan fiqh maka dia adalah zindiq (menyeleweng), dan ketiga, siapa yang menggabungkan keduanya maka dia telah berhaqiqah (menemukan kebenaran).
Sedanagkan Esensi Pondok Pesantren adalah diartikan sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Pondok, masjid , santri, pengajaran kitab-kitab kitab-kitab Islam klasik dan kyai adalah merupakan elemen dasar dari pondok pesantren. Kyai merupakan unsur yang paling esensial dari suatu pesantren, bahkan seringkali merupakan pendirinya. Oleh karena itu sudah sewajarnya jika petumbuhan suatu pesantren bergantung kepada kemampuan pribadi kyai. Ia sebagai tokoh kunci yang menentukan corak kehidupan pesantren.
Adapun tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmad kepada masyarakat dengan jadi kawulo atau abdi masyarakat tetapi rasul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad SAW (mengikuti sunah Nabi), mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indoinesia. Idealnya pengembangan kepribadian yang ingin dituju ialah kepribadian muhsin bukan sekedar muslim.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa esensi dari pesantren adalah pembinaan kepribadian muhsin, yakni melaksanakan ihsan dalam arti yang sesungguhnya.
Mengingat esensi tasawuf terutama terletak pada pengejewantahan ihsan, zuhud serta penghayatan fana’ dan ma’rifat, sementara itu esensi pesantren terletak pada pembinaan kepribadian muhsin, maka sudah sewajarnya jika tasawuf telah menjadi tiang penyangga berdirinya pondok pesantren. Sebagaimana telah juga diketahui bahwa pesantren telah menjadi subkultur, maka tasawuf juga dapat dinyatakan sebagai sub dari subkultur pesantren atau dengan singkat tasawuf sebagai subkultur pondok pesantren. Pondok pesantren dapat dipandang sebagai subkultur paling tidak ditandai oleh beberapa karakteristik pada spek-aspek berikut: (1) eksistensi pesantren sebagai sebuah lembaga kehidupan yang menyimpang dari pola kehidupan umum, (2) terdapatnya sejumlah penunjang yang menjadi tulang punggung kehidupan pesantren, (3) berlangsungnya proses pembentukan tata nilai yang tersendiri dalam pesantren lengkap dengan simbul-simbulnya, (4) adanya daya tarik keluar sehingga masyarakat luar memandang pesantren sebagai alternatif ideal dan (5) berkembangnya suatu proses pengaruh mempengaruhi dengan masyarakat luar sehingga terjadinya suatu transformasi.

Peranan Tasawuf dalam Menaggulangi Krisis Spiritual

Para ulama’ sepakat bahwa tasawuf adalah moralitas yang berdasarkan Islam. Karena itu seorang sufi adalah mereka yang bermoral, sebab semakin ia bermoral semakin bersih dan bening (shufa) jiwanya. Dengan pengertian bahwa tasawuf adalah moral berarti tasawuf adalah semangat (inti Islam). Sebab ketentuan hukum Islam berlandaskan moral islami. Karenanya hukum Islam tanpa tasawuf (moral), ibarat badan tanpa nyawa atau wadah tanpa isi. Esensi agama Islam adalah moral, yaitu moral antara seorang hamba dengan Tuhannya, antara seorang dengan dirinya sendiri, antara dia dengan orang lain, termasuk anggota masyarakat dan lingkungannya. Moral seorang dengan dirinya melahirkan tindakan positif bagi diri, seperti menjaga kesehatan jiwa dan raga, menjaga fitrah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan ruh dan jasmani. Dengan demikian, krisis spiritual tidak akan terjadi padanya. Selanjutnya moral yang terjalin pada hubungan antara seorang dengan orang lain, menyebabkan keharmonisan, kedamaian dan keselarasan hidup yang dapat mencegah, mengobati berbagai krisis (spiritual, moral dan budaya).
Moralitas yang diajarkan oleh tasawuf akan mengangkat manusia ke tingkatan shafa al-tauhid. Pada tahap inilah manusia akan memiliki moralitas Allah (al-takhalluq bi akhlaq Allah). Dan manakala seseorang dapat berperilaku dengan perilaku Allah, maka terjadilah keselarasan dan keharmonisan antara kehendak manusia dengan iradah-Nya. Dan sebagai konsekuensinya, seseorang tidak akan mengadakan aktivitas kecuali aktivitas yang positif dan membawa kemanfaatan, serta selaras dengan tuntutan Allah. Maka disinilah tasawuf mampu berfungsi sebagai terapi krisis spiritual, sebab: (1) tasawuf secara psikologi merupakan hasil dari berbagai pengalaman sipiritual dan merupakan bentuk dari pengetahuan langsung mengenai realitas-rtealitas ketuhanan yang cenderung menjadi inovator dalam agama. Pengalaman keagamaan ini memberikan sugesti dan pemuasan (pemenuhan kebutuhan) yang luar biasa bagi pemeluk agama, (2) kehadiran Tuhan dalam bentuk pengalaman mistis dapat menimbulkan keyakinan yang sangat kuat. Perasan-perasaan mistik seperti ma’rifat, ittihat, hulul, mahabbah, dan lain sebagainya mampu menjadi moral force bagi amal-amal shaleh. Dan selanjutnya amal shaleh akan membuahkan pengalaman-pengalaman mistis yang lain dengan lebih tinggi kualitasnya. Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa apabila seorang hamba mendekat kepada Allah melalui ibadah sunnah (nawafil), maka Allah akan mendekat kepadanya, (3) dalam tasawuf hubungan seorang dengan Allah dijalin atas rasa kecintaan. Allah bagi sufi bukanlah Dzat yang menakutkan, tetapi Dia adalah Dzat Yang Sempurna, Indah, Penyanyang, Pengasih, Kekal, al-Haq serta selalu hadir kapanpun dan dimanapun. Oleh karena itu Dia adalah Dzat yang patut dicintai dan diabdi. Hubungan yang mesra ini akan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang baik, lebih baik bahkan yang terbaik. Dengan demikian dengan kata lain moralitas yang menjadi inti dari ajaran tasawuf dapat mendorong manusia untuk memelihara dirinya.


PAPARAN DATA

Berbicara tentang aktualisasi nilai-nilai tasawuf di Pondok Modern Darussalam GontoR juga tidak bisa dilepaskan dari setting akademik pendirinya yaitu KH.Imam Zarkasy. Sebagaimana hasil wawancara peneliti dengan putranya yaitu KH.Abdullah Sukry Zarkasy, MA sebagai berikut:

Berbicara tentang perspektif Pondok Modern Gontor tentang nilai-nilai tasawuf tidak bisa terpisah dari riwayat setting academic KH. Imam Zarkasy sebagai salah satu pendiri pondok modern Gontor. KH.Imam Zarkasi lahir di Gontor, Jawa Timur pada tanggal 21 Maret 1910 M, dan meninggalkan dunia pada tanggal 30 Maret 1985. Ia meninggalkan seorang istri dan 11 orang anak. Kurang lebih berusia 16 tahun (1926), Imam Zarkasi mula-mula menimba ilmu di beberapa pesantren yang ada di daerah kelahirannya, seperti pesantren Josari, pesantren Joresan dan pesantren Tegalsari. Setelah belajar di sekolah Ongkoloro, ia melanjutkan studinya di pondok pesantren Jamsarem, Solo. Pada waktu yang sama ia juga belajar di sekolah Mambaul Ulum. Kemudian masih di kota yang sama ia melanjutkan pendidikannya di sekolah Arabiyah Adabiyah yang dipimpin oleh K.H. Al Hasyimi, sampai pada tahun 1930. Selama belajar di sekolah-sekolah tersebut, terutama sekolah Arabiyah Adabiyah, ia sangat tertarik dan kemudian mendalami pelajaran bahasa Arab. Sewaktu belajar di Solo, guru yang paling banyak mengisi dan mengarahkan Imam Zarkasyi adalah Al-Hasyimi, seorang ulama, tokoh politik dan sekaligus sastrawan dari Tunisia yang diasingkan oleh pemerintah Perancis di wilayah penjajahan Belanda, dan akhirnya menetap di Solo. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Solo, Imam Zarkasyi meneruskan studinya ke Kweekschool di Padang Panjang, Sumatra Barat, sampai pada tahun 1935. Setelah tamat belajar di tempat itu, ia langsung diminta menjadi Direktur Perguruan tersebut oleh gurunya, Mahmud Yunus. Tetapi Imam Zarkasyi hanya dapat memenuhi permintaan dan kepercayaan tersebut selama satu tahun (tahun 1936), kemudian pertimbangan jabatan itu cukup tinggi, tetapi ia merasa bahwa jabatan tersebut bukanlah tujuan utamanya setelah menuntut ilmu di tempat itu. Imam Zarkasyi yang dinilai oleh Mahmud Yunus memiliki bakat yang menonjol dalam bidang pendidikan, namun ia melihat bahwa Gontor lebih memerlukan kehadirannya. Disamping itu, kakaknya Ahmad Sahal yang tengah bekerja keras mengembangkan pendidikan di Gontor tidak mengizinkan Imam Zarkasyi berlama-lama berada di luar lingkungan pendidikan Gontor. Setelah menyerahkan jabatannya sebagai direktur pendidikan Kweekachool kepada Mahmud Yunus, K.H. Imam Zarkasyi kembali ke Gontor, pada tahun 1936 itu juga, genap sepuluh tahun setelah dinyatakan Gontor sebagai lembaga pendidikan dengan gaya baru, Imam Zarkasyi segera memperkenalkan program pendidikan baru yang diberi nama Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI) dan ia sendiri bertindak sebagai Direkturnya.

KH.Imam Zarkasyi sebelum mendirikan lembaga pendidikan Gontor dengan corak yang modern, beliua bersama pendiri pondok Gontor lainnya, telah mengkaji lembaga-lembaga pendidikan yang terkenal dan maju di luar negeri, khususnya yang sesuai dengan sistem pondok pesantren. Dari lembaga-lembaga itu ada empat hal yang menarik perhatian dan minat mereka untuk mewujudkan lembaga pendidikan Gontor dalam corak dan visinya yang baru. Ada empat lembaga pendidikan yang mereka kunjungi dalam rangka studi banding, yaitu sebagai berikut:

Pertama, Universitas al-Azhar, Mesir, yang terkenal karena wakafnya dan kelanggengannya. Al-Azhar bermula dari sebuah mesjid sederhana namun kemudian dapat hidup ratusan tahun dan telah memiliki tanah wakaf yang mampu memberi beasiswa untuk mahasiswa seluruh dunia. Kedua, pondok syanggit di Afrika Utara, dekat Libya. Lembaga dikenal karena kedermawanan dan keihklasan pengasuhnya. Pondok ini dikelola dengan jiwa ikhlas dan pengasuhnya disamping mendidik murid-muridnya, juga menanggung kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Ketiga, Universitas Muslim Aligarch yang membekali mahasiswanya dengan pengetahuan umum dan agama sehingga mereka mempunyai wawasan yang luas dan menjadi pelopor kebangkitan Islam di India. Keempat, masih juga di India, yaitu perguruan Shantiniketan yang didirikan oleh seorang filosof Hindu, Rabendranath Tagore. Perguruan ini dikenal karena kedamaiannya, dan meskipun terletak jauh dari keramaian, tetapi dapat melaksanakan pendidikan dengan baik dan bahkan mempengaruhi dunia. Kedamaian di perguruan tersebut mengilhami Darussalam (kampung damai) untuk pondok pesantren Gontor.

Dari keempat lembaga pendidika yang dikunjungi itu yang menjadikan idaman Imam Zarkasyi dan lembaga pendidikan yang hendak ia bangun adalah pondok pesantren yang merupakan perpaduan antara sintesa dari keempat unsur di atas. Semua dipadukan dalam pandangan agama yang tergolong Mazhab Ahlussunah Wal-Jama’ah yang mayoritas dianut umat Islam di Indonesia. Pada seminar pondok pesantren se-Indonesia tahun 1965 di Yogyakarta, Imam Zarkasyi merumuskan jiwa pesantren itu ada lima yang disebutnya dengan PANCA JIWA pondok sebagai berikut:

Jiwa keikhlasan, Jiwa kesederhanaan, Jiwa kesanggupan menolong diri sendiri (self help) atau berdikari, Jiwa ukhuwah Islamiyah dan Jiwa yang bebas.

Lima nilai-nilai menurut tersebut menurut KH.Imam Zarkasy dan pendiri lainNya yang harus dijadikan sebagai jiwa semua kehidupan di Pondok Modern Gontor, sebagaimana hasil wawancara peneliti dengan Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor KH. Abdullah Suykri Zarkasy, MA dan Ust. Abdullah Rafi, M.Ag sebagai berikut:

Hal yang paling penting dalam pesantren bukanlah pelajarannya semata-mata, melainkan jiwanya. Jiwa itulah yang akan memelihara kelangsungan hidup pesantren dan menentukan filsafat hidup para santrinya.

Aktualisasi dan pemberdayaan nilai-nilai tersebut terlihat dalam kehidupan sehari-hari santri dan pimpinan serta pengurus Pondok Modern Gontor. Hasil observasi, wawancara dan dokumentasi telah menunjukkan adanya aktualisasi dan pemberdayaan nilai-nilai tersebut, dengan paparan deskriptif sebagai berikut.



Aktualisasi Nilai-nilai “Jiwa Keikhlasan” dalam Hidup dan Kehidupan di Pondok Modern Darussalam Gontor.

Yang dimaksud dengan “Jiwa Keikhlasan” sebagai jiwa Pondok Modern Darussalam Gontor yang akan memelihara kelangsungan hidup pesantren dan menentukan filsafat hidup para santrinya yaitu sebagaimana yang dirumuskan oleh KH.Imam Zarkasy bahwa yang dimaksud dengan jiwa keikhlasan adalah :

Sepi ing pamrih (tidak didorong oleh keinginan memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu), tetapi semata-mata karena ibadah, karena Allah. Hal ini meliputi segenap suasana kehidupan di pondok pesantren. Kyai ikhlas dalam mengajar, para santri ikhlas dalam belajar, lurah pondok ikhlas dalam membantu (asistensi). Segala gerak-gerik dalam pondok pesantren berjalan dengan suasana keikhlasan yang mendalam. dengan demikian terdapatlah suasana hidup yang harmonis, antara kyai yang disegani dan santri yang taat dan penuh cinta serta hormat.

Apa yang telah dirumuskan oleh Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor tersebut tentang konsep-konsep “jiwa keikhlasan” selalu diaktualisasikan dalam semua aktifitas, baik aktifitas harian, mingguan, maupun bulanan, sebagaimana hasil observasi dan dokumentasi peneliti yang mencatat bahwa setiap mudabbir rayon yang setiap pagi melakukan tugas membangunkan anggotanya, tanpa kenal lelah dan tanpa pamrih. Hal tersebut dilakukan tidak hanya “sekedar” melakukan kewajiban akan tetapi sebuah pengabdian dan amanat yang harus dilakukan dan dijunjung tinggi tanpa mengharap apapun. Demikian pula mudabbir yang berdiri di depan masjid, menyuruh para santri untuk bergegas dan bersegera ke masjid, kemudian menertibkan shaf santri di dalam masjid. Hal tersebut dilakukannya setiap hari. Tidak ada kata lelah dan bosan. Semua itu dilakukan semata-mata karena amanat yang diberikan kepadanya oleh pimpinan pondok yang tentunya pertanggungjawabannya tidak semata-mata kepada pimpinan akan tetapi kepada Allah. Para ustadz yang yang pagi mengajar dan malam masih harus berkeliling mengawasi dan mengontrol belajar santri kalau dipikir tentu sangat capek dan melelahkan. Apalagi kalau dihitung secara materi tentu tidak sebanding apa yang sudah mereka kerjakan dengan apa yang mereka peroleh. Tetapi kesemangatan, ketulusan nampak dari wajah-wajah mereka. Tidak ada beban berat yang dirasakan. Semua dilakukan karena tanggung jawab dan sadar akan arti sebuah pengabdian.

Aktualisasi Nilai-nilai “Jiwa Kesederhanaan” dalam Hidup dan Kehidupan di Pondok Modern Darussalam Gontor.

Yang dimaksud dengan “Jiwa Kesederhanaan” sebagai jiwa Pondok Modern Darussalam Gontor yang akan memelihara kelangsungan hidup pesantren dan menentukan filsafat hidup para santrinya yaitu sebagaimana yang dirumuskan oleh KH.Imam Zarkasy bahwa yang dimaksud dengan “Jiwa Kesederhanaan” adalah:

Dalam kehidupan di pesantren harus diliputi suasana kesederhanaan tetapi tetap agung. Sederhana bukan berarti pasif nrimo (pasrah) dan bukan karena melarat atau miskin, tetapi mengandung kekuatan dan ketabahan dalam diri, penguasaan diri dalam menghadapi segala kesulitan. Dengan demikian, dibalik kesederhanaan itu terpancar jiwa besar, berani maju dalam menghadapi perjuangan hidup dan pantang mundur dalam segala keadaan. Bahkan disinilah hidup tumbuhnya mental/karakter yang kuat yang menjadi syarat bagi suksesnya perjuangan dalam segala segi kehidupan.

Apa yang telah dirumuskan oleh Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor tersebut tentang konsep-konsep “Jiwa Kesederhaanan” selalu diaktualisasikan dalam semua aktifitas santri, sebagaimana hasil observasi dan dokumenatsi peneliti bahwa dari cara berpakaian santri sama sekali tidak mencerminkan sebuah kemewahan, dengan baju yang polos namun tidak mengesampingkan aspek keindahan dan kebersihan. Model baju dengan corak dan motif seperti itu kira-kira harganya juga tidak terlalu mahal, artinya adalah bahwa hampir siapapun mampu membelinya. Warna dan motif baju seperti itu memang disisi lain akan meniadakan jarak yang bagaimanapun mesti ada antara santri yang kelas ekonomi orang tuanya tinggi dengan santri yang orang tuanya pas-pasan. Rasa tanggungjawab yang diberikan oleh para mudabbir kepada para santri adalah sebuah nilai yang juga ingin di tanamkan pada diri santri. Seperti bagaimana para santri menyapu dan mengepel kamar serta rayon, mengambilkan nasi bagi kawannya yang sakit, itu semua adalah cerminan dari bagaimana mereka memiliki tanggungjawab terhadap diri dan lingkungannya. Kesahajaan santri juga nampak ketika mereka harus membawa piring ke dapur untuk makan bersama-sama dengan kawan-kawan mereka. Mereka tidak malu dan minder meski harus membawa piring sendiri dan harus santri untuk mengambil nasi di dapur.

Aktualisasi Nilai-nilai “Jiwa Berdikari” dalam Hidup dan Kehidupan di Pondok Modern Darussalam Gontor.

Yang dimaksud dengan “Jiwa Berdikari” sebagai jiwa Pondok Modern Darussalam Gontor yang akan memelihara kelangsungan hidup pesantren dan menentukan filsafat hidup para santrinya yaitu sebagaimana yang dirumuskan oleh KH.Imam Zarkasy bahwa yang dimaksud dengan jiwa berdikari adalah:

Jiwa kesanggupan menolong diri sendiri (self help) atau berdikari; didikan inilah yang merupakan senjata hidup yang ampuh. Berdikari bukan saja dalam arti bahwa santri harus belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi juga pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan tidak menyandarkan kehidupannya kepada bantuan dan belas kasihan orang lain. Itulah self bedruiping system (sama-sama memberikan iuran dan sama-sama dipakai)

Apa yang telah dirumuskan oleh Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor tersebut tentang konsep-konsep “Jiwa Berdikari” selalu diaktualisasikan dalam semua aktifitas di Pondok Modern Darussalam Gontor, sebagaimana hasil observasi peneliti bahwa santri selalu harus mencuci sendiri, membersihkan kamar, melipat kasur sehabis tidur, mencuci piring sehabis makan, dll, kesemuanya adalah sebuah gambaran bahwa sesungguhnya santri diajari untuk bagaimana bisa hidup mandiri, menyelesaikan tugas dan kebutuhan diri secara mandiri tanpa harus bergantung pada orang lain.
Disamping itu aktualisasi konsep “Jiwa Berdikari” Pondok Modern Gontor sebagai lembaga pendidikan tidak menyandarkan kehidupannya kepada bantuan dan belas kasihan orang lain adalah sebagaimana hasil dokumentasi peneliti bahwa Pondok Modern Gontor memiliki kekuatan ekonomi yang sangat kuat, dengan terbukti adanya KUK (Koperasi Unit Keluarga) La Tansa di beberapa kota besar di Indoensia, pabrik roti, percetakan, peternakan, pertanian, toko buku, perkebunan dan usaha-usaha kecil lainnya adalah wujud dari jiwa kemandirian pesantren.
Disamping i\tu kemandirian Pondok Modern Darussalam Gontor, telihat dalam sistem manajemennya, sebagaimana hasil wawancara peneliti dengan Drs. H. Amal Fathullah Zarkasyi, M.A sebagai berikut:

Pimpinan KH Imam Zarkasy telah telah mewakafkan Pondok Modern Gontor kepada sebuah lembaga yang disebut Badan Wakaf Pondok Modern Gontor. Ikrar pewakafan ini telah dinyatakan di muka umum oleh ketiga pendiri Pondok tersebut. Dengan ditandatanganinya Piagam Penyerahan Wakaf itu, maka Pondok Modern Gontor tidak lagi milika pribadi atau perorangan sebagaimana dijumpai dalam lembaga pendidikan pondok pesantrren tradisional. Dengan demikian Pondok Modern Gontor menjadi milik umat Islam, dan umat Islam beratanggungjawab atasnya. Lembaga Badan Wakaf ini selanjutnya menjadi badan tertinggi di pondok Modern Gontor. Badan inilah yang bertanggungjawab mengangkat Kyai untuk masa jabatan lima tahun. Dengan demikian kyai bertindak sebagai mandataris dan bertanggung jawab kepada badan wakaf. Untuk itu Badan Wakaf memiliki lima program, yakni yang berkenaan dengan (1) pendidikan dan pengajaran, (2) bidang peralatan dan peregedungan, (3) bidang perwakafan dan sumber dana, (4) bidang kaderisasi, (5) bidang kesejahteraan. Dengan struktur kepengurusan yang demikian , maka kyai dan keluarga tidak punya hak material apapun dari Gontor. Kyai dan guru-guru tidak mengurusi uang dari santri, sehingga mereka tidak pernah membedakan antara santri yang kaya dan yang kurang mampu. Urusan keuangan menjadi tanggungjawab petugas kantor tata usaha yang terdiri dari beberapa orang santri senior dan guru yang secara periodic bisa diganti. Dengan demikian pengatuaran jalannya organisasi pendidikan menjadi dinamis, terbuka dan obyektif. pewakafan Pondok Modern Gontor kepada sebuah lembaga Badan Wakaf Pondok Modern Gontor tersebut didsarkan juga pada pemikiran bahwa pondok pesantren dapat terus akan bertahan dengan memperhatikan syarat-syarat material. Untuk itu harus ada wakaf yang menjadi andalan bagi kelangsungan hidup pondok pesantren. Dengan cara ini, pesantren akan senantiasa dapat meninggikan mutu pendidikan dan pengajarannya; Pondok pesantren tidak akan lupa terhadap program pembentukan kader untuk kelanjutan regenerasi. Sebab seringkali diketahui bahwa hidup matinya pondok pesantren seringkali sangat tergantung kepada hidup matinya kyai pendiri pesantren tersebut. Untuk memelihara kelangsungan hidup pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, tiap-tiap pondok pesantren harus menyiapkan kader-kader yang akan menggantinya.
Aktualisasi Nilai-nilai “Jiwa Ukhuwah Islamiyah” dalam Hidup dan Kehidupan di Pondok Modern Darussalam Gontor.

Yang dimaksud dengan “Ukhuwah Islamiyah” sebagai jiwa Pondok Modern Darussalam Gontor yang akan memelihara kelangsungan hidup pesantren dan menentukan filsafat hidup para santrinya yaitu sebagaimana yang dirumuskan oleh KH.Imam Zarkasy bahwa yang dimaksud dengan jiwa ukhuwah islamiyah adalah:

Jiwa ukhuwah Islamiyah adalah bahwa kehidupan di pondok pesantren harus diliputi oleh suasana dan perasaan persaudaraan yang akrab sehingga segala kesenangan dan kesusahan dapat dirasakan bersama dengan jalinan perasaan keagamaan. Persaudaraan ini bukan hanya selama berada dipondok pesantren tetapi juga harus mempengaruhi arah persaudaraan dan persatuan umat yang luas.

Apa yang telah dirumuskan oleh Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor tentang konsep-konsep “Jiwa Ukhuwah Islamiyah” tersebut selalu diaktualisasikan dalam semua aktifitas di Pondok Modern Darussalam Gontor, sebagaimana hasil observasi peneliti bahwa nilai-nilai ukhuwah islamiyah dan persaudaraan tersebut ditanamkan pada diri santri semenjak mereka masuk di pondok modern Gontor. Bagaimana santri yang jaga rayon mengambilkan nasi bagi kawannya yang sakit, mengantarkannya ke Balai Kesehatan adalah cerminan dari nilai tersebut. Cerminan dari kehidupan sehari-hari mereka di kamar, satu kamar berisi 25-30 santri dan mereka berasal dari berbagai daerah yang beragam suku dan bahasa mereka, menunjukkan sebuah ajaran dan nilai persaudaraan yang ditanamkan oleh pondok. Saudara senasib sepenanggungan, saudara seiman dan seagama. Saudara yang bagaimana mereka merapatkan barisan, saling mengucapkan salam dan bersalaman, saling membantu apabila ada yang membutuhkan bantuan,adalah merupakan cermin nilai-nilai ukhuwah islamiyah.
Disamping itu aktualisasi konsep jiwa ukhuwah islamiyah, juga seringnya adanya kunjungan dqan shilatur rahim dari pejabat, tokoh-tokoh pendidikan, politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya baik tingkat nasional maupun internasional, yang itu semua adalah cermin dari jiwa ukhuwah islamiyah Pondok Modern Gontor yang selalu menciptakan suasana dan perasaan persaudaraan yang akrab sehingga segala kesenangan dan kesusahan dapat dirasakan bersama dengan jalinan perasaan keagamaan. Persaudaraan ini bukan hanya selama berada dipondok pesantren tetapi juga harus mempengaruhi arah persaudaraan dan persatuan umat yang luas.

Aktualisasi Nilai-nilai “Jiwa Kebebasan” dalam Hidup dan Kehidupan di Pondok Modern Darussalam Gontor.

Yang dimaksud dengan “Jiwa Kebebasan” sebagai jiwa Pondok Modern Darussalam Gontor yang akan memelihara kelangsungan hidup pesantren dan menentukan filsafat hidup para santrinya yaitu sebagaimana yang dirumuskan oleh KH.Imam Zarkasy bahwa yang dimaksud dengan jiwa kebebasan adalah:

Bebas dalam berfikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depannya, dalam memilih jalan hidup didalam dengan berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi kehidupan. Hanya saja dalam suasana kebebasan ini sering kali kita temui unsur-unsur negatif, yaitu apabila kebebasan itu disalahgunakan, sehingga terlalu bebas (untuk tidak mau dipengaruhi), berpegang teguh kepada tradisi yang dianggap sendiri telah (pernah) menguntungkan pada zamannya, sehingga tidak hendak menoleh keadaan sekitarnya. Akhirnya tidak bebas lagi, karena mengikatkan diri kepada yang diketahui itu saja. Maka kebebasan ini harus dikembalikan kepada aslinya, yaitu bebas dari garis-garis DISIPLIN YANG POSITIF dengan penuh tanggungjawab, baik dalam kehidupan pondok pesantren itu sendiri maupun dalam kehidupan masyarakat.

Apa yang telah dirumuskan oleh Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor tentang konsep-konsep “Jiwa Kebebasan” tersebut selalu diaktualisasikan dalam semua aktifitas di Pondok Modern Darussalam Gontor, sebagaimana hasil observasi dan dokuemenasi peneliti bahwa tiap-tiap santri diberi kebebasan untuk menentukan jenis kegiatan dan aktifitas pada saat-saat mereka tidak dalam suatu kegiatan rutin. Mereka juga diberi kebebasan untuk berpikir, mengemukakan pendapat. Dalam berpidato misalnya, mereka bebas memilih judul apapun yang disukai tanpa ada sesuatu yang membatasi ruang-gerak mereka. Bebas tetapi bertanggungjawab. Bertanggungjawab dalam pengertian mereka memahami konsekuensi moral dan sosial yang harus ditanggung atas perbuatannya. Dalam berpakaian misalnya, di pondok tidak ada seragam, kecuali baju pramuka yang itupun hanya dipakai sekali dalam satu minggu. Para santri diberikan keleluasaan untuk memilih dan memakai baju dan pakaian sesuai dengan selera mereka. Semua baju boleh kecuali baju yang berbau politik, dan kedaerahan.

TEMUAN PENELITIAN

Berangkat dari paparan data diatas, ada tiga temuan hasil penelitian terkait fokus penelitian “aktualisasi nilai-nilai tasawuf dalam hidup dan kehidupan di Pondok Modern Darussalam Gontor”. Tiga temuan tersebut adalah yaitu: (1) telah terjadi pengejewantahan nilai-nilai tasawuf dalam hidup dan kehidupan di Pondok Modern Darussalam Gontor; (2) Disiplin merupakan Sarana dan Proses Aktualisasi Tasawuf Akhlaqi; (3) Panca Jiwa Pondok Modern Darussalam Gontor merupakan tiang penyangga pondok modern Gontor dalam pembinaan SDM era pendidikan global dan hedonisme kultural.

Pengejewantahan Nilai-nilai Tasawuf dalam hidup dan kehidupan di Pondok Modern Gontor

Telah terjadi pengejewantahan nilai-nilai ihsan (esensi Tasawuf) dalam proses pendidikan dan pengajaran di Pondok Modern Darussalam Gontor yang dijadikan sebagai ruh/jiwa yang akan memelihara kelangsungan hidup Pondok Modern Darussalam Gontor. Hal tersebut tersirat dalam pernyataan KH.Imam Zarkasy bahwa “hal yang paling penting dalam pesantren bukanlah pelajarannya semata-mata, melainkan juga jiwanya. Jiwa itulah yang akan memelihara kelangsungan hidup pesantren dan menentukan filsafat hidup para santrinya”. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa yang menjadi tiang penyangga atau ruh/jiwa berdirnya pondok pesantren Moden Gontor adalah nilai-nilai terpuji yang merupakan pengejawantahan nilai-nilai ihsan (esensi tasawuf). Nilai-nilai ihsan tersebut dikukuhkan yang kemudian disebut dengan “Panca Jiwa”. Dengan demikian mengingat esensi tasawuf adalah pada pengejawantahan ihsan (Jiwa keikhlasan, Jiwa kesederhanaan, Jiwa kesanggupan menolong diri sendiri atau berdikari, Jiwa ukhuwah Islamiyah dan Jiwa yang bebas), dan sementara itu esensi Pondok Modern Darussalam Gontor terletak pada pembinaan kepribadian santri yang bermanfaat bagi umat (muhsin). Maka secara substansial tasawuf telah menjadi tiang penyangga berdirnya pondok Modern Darussalam Gontor atau tasawuf sebagai subkultur pondok Modern Darussalam Gontor.

Disiplin merupakan Sarana dan Proses Aktualisasi Tasawuf Akhlaqi.

Aktualisasi dan pemberdayaan nilai-nilai Panca Jiwa tersebut dalam kehidupan sehari-hari santri di Pondok Modern Darussalam Gontor, adalah merupakan perwujudan dari ihsan, yang berarti kesadaran adanya konskuensi seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan semua perbuatan-perbuatan yang terpuji dan menjauhi semua perbuatan yang dilarangNya. Konsep inilah dalam tasawuf dinamakan dengan Tasawuf akhlaqi. Hal ini bisa dilaksanakan, apabila seorang individu selalu mensucikan jiwanya yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat, guna mencapai kebahagiaan yang optimal, yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna dan berakhlak mulia yang dalam ilmu tasawuf dikenal dengan takhalli (pengosongan diri dari sifat-sifat tercela), kemudian tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji), dan yang terakhir adalah tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan).
Aktivitas harian di Pondok Modern Gontro tidak terlepas dari Panca Jiwa Pondok Modern Gontor. Beberapa kegiatan tersebut adalah sebagai aktualisasi nilai-nilai yang tersirat dalam Panca Jiwa, yaitu: (1) Shalat malam dan membaca Al-Qur’an yang dilaksanakan dengan secara khusyu’ degan penuh kesadaran adalah cermin nilai-nilai keikhlasan sebagimana yang tersirat dalam Panca Jiwa; (2) Pakaian rapi dan sejenis, tidak ada yang memakai pakaian yang “nyleneh”, seperti baju kotak-kota, batik, jin dst, adalah cermin kesederhaan. Baik dari keturunan orang kaya dan orang yang miskin, semunya dilatih dengan pola hidup sedernaha. Ini adalah cermin dari jiwa kesederhaan; (3) Aktifitas ritual ibadah sholat yang selalu dilaksanakan berjamaah adalah cermin dari jiwa ukhuwah islamiyah yang selalu menjadi jiwa hidup pesantren, (4) ketepatan waktu dalam melaksanakan setiap aktifitas adalah juga merupakan muraqabah dan cermin dari jiwa disiplin positif sebagaimana yang dimaksud dalam jiwa kebebasan yakni bebas dari garis-garis DISIPLIN YANG POSITIF dengan penuh tanggungjawab, baik dalam kehidupan pondok pesantren itu sendiri maupun dalam kehidupan masyarakat; (5) kegiatan santri belajar, kebersihan lingkungan sendiri, mempersiapkan sekolah sendiri dan lain sebagainya adalah cermin dari nilai-nilai yang tersirat dalam jiwa berdikari, yang mana santri harus belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri. Itu semua adalah merupakan proses pendidikan dan pelatihan agar santri terbiasa dengan sifat-sifat terpuji dan tidak ada kesempatan sedikitpun untuk melaksanakan perbuatan atau sifat-sifat tercela.
Dan tujuan akhir dari itu semua adalah agar tumbuhnya kesadaran adanya konskuensi setiap santri untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan semua perbuatan-perbuatan yang terpuji dan menjauhi semua perbuatan yang dilarangNya. Konsep inilah dalam tasawuf dinamakan dengan Tasawuf akhlaqi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aktualisasi dan pemberdayaan nilai-nilai Pancajiwa dalam hidup dan kehidupan di Pondok Modern Darussalam Gontor, merupakan perwujudan dari esensi tasawuf akhlaqi yang berarti bahwa adanya kesadaran konskuensi untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan semua perbuatan-perbuatan yang terpuji dan menjauhi semua perbuatan yang dilarangNya.

Panca Jiwa Pondok Modern Darussalam Gontor merupakan tiang penyangga pondok modern Gontor dalam pembinaan SDM era pendidikan global dan hedonisme kultural.

Setiap pesantren niscaya mendambakan dan ikut serta berupaya melahirkan generasi penerus (out put) atau santri yang selain memiliki keunggulan bersaing (competitive advantage) untuk menjadi subyek dalam percaturan di dunia kerja juga memiliki kepribadian yang utuh (integrated personality) sehingga dapat memakmurkan dan memuliakan kehidupan material dan spiritual diri, keluarga dan masyarakatnya berdasarkan nilai-nilai Islam.
Dalam rangka untuk mencapai dambaan tersebut diatas,, pada saat abad ke-21 sekarang ini lembaga pendidikan dihadapkan pada tantangan arus era globalisasi yang mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia umumnya atau pendidikan Islam, termasuk Pesantren, Meskipun globalisasi menciptakan kecenderungan untuk peningkatan kerjasama internasional dan regional yang berusaha mewujudkan kemakmuran ekonomi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan ekonomi masyarakat makin cerdas, profesional dan trampil mengolah alam dan lingkungan hidup bagi kebutuhan hidupnya, namun tanpa disadari telah muncul pula penurunan kualitas kepribadian manusia. Disamping itu pesantren dihadapkan pada tantangan arus pendidikan global yang berideologi kapitalisme sekuler dan kondisi masyarakat yang sudah menjadi rimba hedonisme, sebab pada ke-21 sebagaimana disebut banyak orang adalah millinimum baru yang kita belum tahu persis bagaimana sosoknya, akan dibawa kemana umat manusia. Dan sekarang ini dunia telah berada dalam kesepakatan bahwa abad ke-21 ini diselimuti oleh alam perdagangan bebas dan globalisasi, dimana kompetisi antara individu, antara negara dan antar usaha akan semakin tajam. Dunia secara global pada abad 21 ini, telah memihak pada kepentingan pasar. Pada tahun 2003 yang lalu kita sudah memasuki era perdagangan bebas ASEAN, yang secara formal telah diratifikasi dalam AFTA pada tahun 2010. Dan tahun 2020 memasuki era perdagangan bebas dalam konteks kerjasama Asia dan fasifik (APEC). Maka millinium ketiga, kita berada dalam arus besar kehidupan yang berparadigma kapitalisme dan kondisi masyarakat yang akan menjadi rimba hedonisme (pengultusan kesenangan duniawi).
Dalam rengka menghadapi fenomena sebagai tersebut diatas, Pondok Modern Darussalam Gontor bisa dijadikan rujukan pesantren lain dalam menghadapi tatangan arus globalisasi dan tantangan arus pendidikan global yang berideologi kapitalisme sekuler dan kondisi masyarakat yang sudah menjadi rimba hedonisme. Analisis ini didasarkan pada:
Pertama, Pondok Modern Darussalam Gontor sebagai lembaga pendidikan Islam, telah mampu mengahadapi tantangan globalisasi sebagaimana tersebut diatas, sebab dalam proses pendidikannya (mempersiapkan out putnya), pendekatan yang digunakan adalah berpijak pada “pendekatan religik-filosofis”, sebagaimana tersirat dalam Panca Jiwa yang dijadikan sebagai dijadikan sebagai ruh/jiwa yang akan memelihara kelangsungan hidup pesantren Modern Darussalam Gontor. Dengan pendekatan tersebut, sistem pendidikan Islam harus berorientasi pada keseimbangan antara kepentingan duniawi (the worldly oriented) dan ukhrawi. Selain itu pendidikan Islam juga bukan sekedar pendidikan budaya (cultural education), dan juga bukan sekedar pendidikan yang semata-mata bertolak dari/dan berorientasi pada upaya pengembangan dan pelestarian sosio-kultural tertentu, tetapi sekaligus dan bahkan yang lebih utama bermaksud menanamkan pengetahuan yang berguna (‘ilm nafi’) dalam rangka merealisasikan fitrah manusia sebagai hamba Alloh dan khalifatullah, yang dapat mendekatkan manusia dengan khaliq-Nya (al-‘ilm al-nafi’ huwa alladzi yutsmiru khasyata Allah ta’ala).
Kedua, Pondok Modern Gontor, telah mencerminkan keberhasilan baik dalam konteks kualitas proses dan mutu hasil pendidikan maupun kualitas keberagamnya di dalam dan luar negeri. Keberhasilan Pondok Modern Gontor tersebut tidak lepas landasan filosofi yang tersirat dalam panca jiwa serta gigihnya para pemimpin Pondok Modern Darussalam Gontor dalam mengaktualisasi dan membemberdayaan nilai-nilai panca jiwa dalam hidup dan kehidupan di Pondok Modern Darussalam Gontor.
Ketiga, Pondok Modern Darussalam Gontor telah memliliki tiga kekuatan secara seimbang yang dapat menghantarkan Pondok Modern Darussalam Gontor berhasil dalam (1) menjadikan Pondok Modern Gontor yang niscaya selalu melahirkan generasi penerus (out put) yang memiliki kepribadian yang utuh (integrated personality) sehingga dapat memakmurkan dan memuliakan kehidupan material dan spiritual diri, keluarga dan masyarakatnya berdasarkan nilai-nilai Islam; (2) menjadikan Pondok Modern Gontor memiliki keunggulan bersaing (competitive advantage) untuk menjadi subyek dalam percaturan dunia global abad 21 yang telah memihak pada kepentingan pasar, yang berada pada arus besar kehidupan kapitalisme dan kondisi masyarakat yang sudah menjadi rimba hedonisme. Tiga kekeutan tersebut adalah: (1) kekuatan dalam Bidang Sumber Daya Manusia. Kekuatan dalam bidang sumber daya manusia mulai dari tenaga pendidik (guru) yang unggul, pengelolaan yang profesional dan tenaga peneliti dan pengembangannya yang andal, sangat tercermin dalam pola hidup dan kehidupan Pondok Modern Darussalam Gontor, Hal ini terbukti SDM Pondok Modern Darussalam Gontor yang penuh melaksanakan aktifitas pendidikan dan pengajaran dengan dengan jiwa keikhlasan, yaitu “Sepi ing pamrih (tidak didorong oleh keinginan memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu), tetapi semata-mata karena ibadah, karena Allah. Hal ini meliputi segenap suasana kehidupan di pondok pesantren. Kyai ikhlas dalam mengajar, para santri ikhlas dalam belajar, lurah pondok ikhlas dalam membantu (asistensi). Segala gerak-gerik dalam pondok pesantren berjalan dengan suasana keikhlasan yang mendalam. dengan demikian terdapatlah suasana hidup yang harmonis, antara kyai yang disegani dan santri yang taat dan penuh cinta serta hormat”. Apa yang telah dirumuskan oleh Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor tersebut tentang konsep-konsep “jiwa keikhlasan” selalu diaktualisasikan dalam semua aktifitas, baik aktifitas harian, mingguan, maupun bulanan sebagaimana telah dipaparkan pada paparan data yang kesemuanya dilakukan semata-mata karena amanat yang diberikan kepadanya oleh pimpinan pondok yang tentunya pertanggungjawabannya tidak semata-mata kepada pimpinan akan tetapi kepada Allah serta karena tanggung jawab dan sadar akan arti sebuah pengabdian; (2) Kekuatan dalam Bidang Manajeman.Kekuatan dalam bidang manajeman dan kinerja yang didukung oleh peralatan teknologi canggih sehingga akan dapat mendukung efisiensi dan akselerasi. Demi kepentingan pendidikan dan pengajaran Islam, Imam zarkasy selaku pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor telah mewakafkan Pondok Modern Gontor kepada sebuah lembaga yang disebut Badan Wakaf Pondok Modern Gontor. Ikrar pewakafan ini telah dinyatakan di muka umum oleh ketiga pendiri Pondok tersebut. Dengan ditandatanganinya Piagam Penyerahan Wakaf itu, maka Pondok Modern Gontor tidak lagi milika pribadi atau perorangan sebagaimana dijumpai dalam lembaga pendidikan pondok pesantrren tradisional. Dengan demikian Pondok Modern Gontor menjadi milik umat Islam, dan umat Islam beratanggungjawab atasnya. Lembaga Badan Wakaf ini selanjutnya menjadi badan tertinggi di pondok Modern Gontor. Badan inilah yang bertanggungjawab mengangkat Kyai untuk masa jabatan lima tahun. Dengan demikian kyai bertindak sebagai mandataris dan bertanggung jawab kepada badan wakaf. Untuk itu Badan Wakaf memiliki lima program, yakni yang berkenaan dengan (1) pendidikan dan pengajaran, (2) bidang peralatan dan peregedungan, (3) bidang perwakafan dan sumber dana, (4) bidang kaderisasi, (5) bidang kesejahteraan. Dengan struktur kepengurusan yang demikian , maka kyai dan keluarga tidak punya hak material apapun dari Gontor. Kyai dan guru-guru tidak mengurusi uang daria santri, sehingga mereka tidak pernah membedakan antara santri yang kaya dan yang kurang mampu. Urusan keuangan menjadi tanggungjawab petugas kantor tata usaha yang terdiri dari beberapa orang santri senior dan guru yang secara periodic bisa diganti. Dengan demikian pengatuaran jalannya organisasi pendidikan menjadi dinamis, terbuka dan obyektif; (3) Kekuatan dalam Bidang Dana. Pondok Modern Darussalam Gontor mempunyai kekuatan dalam bidang dana yang bersumber dari kekuatan lembaga itu sendiri. Kekuatan inilah yang menjadikan Pondok Modern Darussalam Gontor mampu menghadapi hedonisme kultural. Inilah salah satu cermin “Jiwa Berdikari” sebagai jiwa Pondok Modern Darussalam Gontor. Dengan jiwa berdikari (self help) atau berdikari; pondok modern Gontor sebagai lembaga pendidikan tidak menyandarkan kehidupannya kepada bantuan dan belas kasihan orang lain, tetapi kekuatan tersebut dibangun dari kekuatan lembaga sendiri dengan membangun kekuatan ekonomik seperti dengan mendirikan KUK (Koperasi Unit Keluarga) La Tansa yang ada di beberapa kota besar di Indoensia, pabrik roti, percetakan, peternakan, pertanian, toko buku, perkebunan dan usaha-usaha kecil lainnya, itu semua adalah adalah wujud dari jiwa kemandirian pesantren yang mampu mejadikan Pondok Modern Gontor menghadapi arus besar pendidikan global dan hedonisme kultural.



P E N U T U P

Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa (1) Tasawuf sebagai subkultur Pondok Modern Gontor. Hal ini terbukti bahwa esensi tasawuf di Pondok Modern Darussalam Gontor terletak pada pengejawantahan nilai-nilai terpuji dalam pembinaan kepribadian individu santri yang dikukuhkan sebagai ruh/jiwa pesantren yang akan memelihara kelangsungan hidup pesantren dan menentukan filsafat hidup para santrinya. Jiwa itulah yang disebut dengan istilah PANCAJIWA, yaitu jiwa keikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa berdikari, jiwa ukhuwah islamiyah dan jiwa bebas; (2) Aktualisasi dan pemberdayaan nilai-nilai Pancajiwa dalam hidup dan kehidupan di Pondok Modern Darussalam Gontor, merupakan perwujudan dari esensi tasawuf akhlaqi yang berarti bahwa adanya kesadaran konskuensi untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan semua perbuatan-perbuatan yang terpuji dan menjauhi semua perbuatan yang dilarangNya; (3) Proses dan hasil dari aktualisasi/pemb`erdayaan nilai-nilai yang tersirat dalam Pancajiwa Pondok Modern Gontor telah berhasil (a) menjadikan Pondok Modern Gontor yang niscaya selalu melahirkan generasi penerus (out put) yang memiliki kepribadian yang utuh (integrated personality) sehingga dapat memakmurkan dan memuliakan kehidupan material dan spiritual diri, keluarga dan masyarakatnya berdasarkan nilai-nilai Islam; (b) menjadikan Pondok Modern Gontor memiliki keunggulan bersaing (competitive advantage) untuk menjadi subyek dalam percaturan dunia global abad 21 yang telah memihak pada kepentingan pasar, yang berada pada arus besar kehidupan kapitalisme dan kondisi masyarakat yang sudah menjadi rimba hedonisme.
Dari hasil penelitian diatas, ada beberapa saran yang perlu diperhatikan. (1) Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam di negeri ini pun diharapkan sanggup menjawab kebutuhan masyarakat dan dapat menangkap isyarat zaman. Lulusan pendidikan pesantren yang dikehendaki adalah lulusan yang selain menguasai ilmu pengetahuan, keahlian dan ketrampilan yang dibutuhkan penghidupan yang layak dan sejahtera, juga memiliki bekal pengetahuan agama, moral dan akhlak yang mulia. Sebab keseimbangan antara penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan penanaman keimanan dan ketaqwaan (IMTAQ) yang tampak tampaknya tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sebab masyarakat sekarang sudah mulai sadar bahwa dengan pengusaan IPTEK akan dapat mengatasi berbagai masalah kehidupan secara efisien dan efektif, sementara dengan bekal ilmu agama, moral dan akhlak yang mulia ia tidak akan tersesat dalam kehidupan pada hal-hal yang destruktif; (2) Untuk dapat mencapai tuntutan tersebut, didalam melaksanakan proses pendidikan, setiap lembaga pendidikan Islam termasuk pesantren dituntut harus memiliki tiga kekuatan secara seimbang, agar mampu melaksanakan amanat sebagai tersebut diatas dan tetap eksis secara fungsional di tengah-tengah arus kehidupan yang semakin kompetitif. Tiga kekuatan tersebut adalah: (1) kekuatan dalam bidang sumber daya manusia (SDM) mulai dari tenaga pendidik (guru) yang unggul, pengelolaan yang profesional dan tenaga peneliti dan pengembangannya yang andal, yaitu yang ber-IMTAQ dan ber-IPTEK; (2) kekuatan dalam bidang manajeman dan kinerja yang didukung oleh peralatan teknologi canggih sehingga dapat mendukung efisiensi dan akselerasi, dan (3) kekuatan dalam bidang dana yang bersumber dari kekuatan lembaga itu sendiri, yang akan mampu menghadapi hedonisme kultural. Jika ketiga kekuatan tersebut dapat dimiliki oleh lembaga pendidikan Islam, maka masa depan dunia pendidikan Islam akan berada di tangan umat Islam dan akhirnya lembaga pendidikan Islam menjadi pilihan utama masyarakat bahkan menjadi idolanya. Maka dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi kepada lembaga pendidikan Islam khususnya pesantren, agar memperhatikan tiga kekuatan tersebut.


BIBLIOGRAFI

Ali, A. Mukti, Ta’lim Al-Muta’allim Cermin Imam Zarkasy. Gontor: Trimurti, 1991
Arifin, H. Muzayyin, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1994
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millinium Baru. Jakarta: Penerbit Kalimah, 2001.
Bogdan dan Biklen, Qualitative Research for Education, An introduction to theory and methods. Boston: Allyn and Bacon, 1982,
Bruinessen, Martin Van, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis dan Soisologis. Bandung: Mizan, 1992
Dhafir, Zamarkasy, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES,1985
Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty, 2001.
al-Ghazali, Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin. Kairo: Dar-al-Maarif, 1939
Husein, Syed Sajjad, & Al-Asyraf, Syed Ali, Crisis in Muslim Education, Hodder and Stoughton: King Abdul Aziz University, Jeddah, diterjemahkan oleh Mudhafir, Fadhlan 2000. Krisis dalam Pendidikan Islam. Jakarta: Al-Mawardi Prima Anggota IKAPI.
Hussein, Hussein & Syed Ali Al-Asyraf, Crisis in Muslim Education, (Hodder and Stoughton : King Abdul Aziz University, Jeddah, diterjemahkan oleh Fadhlan Mudhafir, Krisis dalam Pendidikan Islam, (Jakarta: Al-Mawardi Prima Anggota IKAPI, 2000), hlm. ix.
al-Kalabadi, Abu bakar Muhammad al-Kalabadi, buku “al-ta’aruf li al madzhab al-tashawuf. Kairo:1960
Lincoln dan Guba, Naturalistic Inquiry. Bevery Hills: SAGE Publications
Lonfland, Analyzing Social Setting, A Guide to Qualitative Observation and Analysis, Belmont, Cal: Wadsworth Publishing Company, 1984
Madjid, Nurcholis, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina, 1997
Marriam, S.B., G Simpson, E.L., A.Quide to research for Educators and trainer on adults. Malabar, Florida: Robert E. Krieger Publishing Company, 1984.
Masthu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta : INIS, 1994.
Miles dan Hubermen, Qualitative Data Analysis, A. Sourcebook of New Methods, Beverly Hills, Sage Publications, 1984.
Moleong, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2000
Najib, Emha Ainun, Slilit Sang Kyai. Jakarta Grafiti, 1992
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1995
Nasution, Harun, K.H. Imam Zarkasyi dalam Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: Departemen Agama, 1988.
Ni’am, Nidhaman, Tasawuf dan Krisis. Yokyakarta: Pustaka Pelajar: Anggota IKAPI, 2001
Patton, Qualitative Evaluation Methods, Beverly Hills, Sage Publications, 1980
Qusyairi,Abdul Karim, al-Risalah al-Qusyairiyah. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1957
Rahim, Husni, Arah baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Logos, 2001
Saifullah, Ali, Darussalam, Pondok Pesantren Modern Gontor, Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1985
Simuh, dkk, Tasawuf dan Krisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Anggota IKAPI, 2001.
Spradley, J.P. Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and Winston, 1980.
Syukur, HM. Amin, Zuhud di Abad Modern. Yokyakarta: Pustaka Pelajar: Anggota IKAPI, cet ke-2, 2000.
Thouless, Robert H., Pengantar Psikologi Agama (Jakarta: Rajawali Press, 1995
Wardun, Warta Dunia Pondok Modern, Risalah Akhir Tahun Ajaran 1400-1401 H/1980-1981. Gontor: 2003
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indobesia. Jakarta: Mutiara, 1979
Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu, 1979
Zarkasy, H. Amal Fathullah, Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan dan Dakwah. Jakarta: Gema Insani Press, 1998.
Zarkasy, KH. Wasiat, Pesan, Nasehat dan Harapan Pendiri Pondok Modern Gontor . Gontor, tt
Zarkasyi, KH. Abdullah, KH. Hasan Abdullah Sahal, dan KH. Imam Badri, Booklet Pondok Modern Gontor Ponorogo Indonesia. Gontor: 2000.
Ziemek, manfred, Pesantren Dalam Perubahan Sosial. Jakarta: LP3M, 1986

Tidak ada komentar: